HARI PENDIDIKAN NASIONAL MESTINYA TANGGAL 18 NOPEMBER


Oleh:
Yan Hasanudin Malik

Pemerintah kolonial Belanda melalui para pakarnya sudah sejak lama melakukan distorsi terhadap sejarah bangsa kita. Salah satu tujuannya adalah mengecilkan peran Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, seni dan budaya serta pertahanan dan keamanan negeri ini.

Cara yang mereka gunakan adalah dengan mengubah orientasi tinjauan sejarahnya menjadi hanya “Hindu-Budha Sentrisme” dan “Neerlando sentrisme”. Hal itu berarti, pemerintah kolonial, dalam membaca gerak sejarah bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam hanya bertolak dari tinjauan atau opini Hindu, Budha atau Belanda.

Itulah sebabnya, peran santri dan para ulama dikecilkan. Dan meskipun fakta adanya ribuan mesjid, surau, langgar dan naskah-naskah Islam serta kesultanan Islam tersebar di seluruh wilayah Nusantara serta penggunaan bahasa Melayu yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia sebagai lingua franca di lingkungan para ulama dalam kegiatan dagang maupun dakwah, tetap saja analisis mereka menjadi bias.

Borobudur mengalahkan ribuan mesjid. Sebuah candi, patung atau prasasti menenggelamkan ribuan naskah Islam yang berbicara tentang sosio-kultural bangsa ini. Dan itu dilakukan secara sengaja karena kebencian mereka setelah melihat peran umat Islam yang demikian keras dalam menentang penjajahan sementara umat yang lain (sebagian besar) malah bekerjasama dengan mereka.

Akibat lain dari cara pandang seperti ini, penulisan sejarah Hindu- Budha, meski patung dan candi yang ditemukan hanya ada di sebagian kecil Nusantara dengan jumlah penganut yang minoritas, selalu dibesar-besarkan. Zaman Hindu-Budha disebut sebagai zaman keemasan dan kejayaan.

Bangsa kita selalu dikaitkan dengan Sriwijaya dan Majapahit, sedangkan Islam yang telah membangkitkan semangat perlawanan dan penentangan terhadap penjajah di seluruh wilayah, dinilai sebagai zaman perpecahan. Bahkan partisipasi umat Islam dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara, merebut dan mempertahankan kemerdekaan, hanya sedikit dibicarakan.

Sampai-sampai dalam penulisan buku-buku sejarah yang diajarkan dari mulai SD sampai Perguruan Tinggi, Boedi Oetomo mengalahkan Syarikat Islam, Ki Hajar Dewantara meminggirkan H. Achmad Dachlan, dan tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir dan Syafrudin Prawiranegara, misalnya, dibicarakan dengan sikap curiga dan penuh prasangka. Kita memang sudah merdeka tapi pemikiran kesejarahan kita masih terjajah Belanda.

Bias dari sikap dan pandangan tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda berupaya mengecilkan peran Achmad Dachlan, putera dari KH Aboebakar bin Kiai Soelaiman, Penghulu Mesjid Sultan Yogyakarta yang mendirikan Perserikatan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912.

Hal-hal yang menggerakkan beliau mendirikan perserikatan ini adalah Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan kolonial Belanda selama 93 tahun yang mengakibatkan kesengsaraan luar biasa bagi bangsa ini dengan menciptakan kemiskinan massal dan melahirkan anak-anak yatim dan piatu yang amat sangat tidak berdaya.

KH Achmad Dachlan selalu berusaha menumbuhkan solidaritas umat dengan mengingatkan mereka akan surat Al-Maun (QS : 107) bahwa shalat yang tidak melahirkan kesadaran untuk menolong fakir miskin dan membiarkan anak-anak yatim hanyalah riya saja.

Karena itulah secara berturut-turut beliau mendirikan Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (untuk menolong dan menyantuni kaum dhuafa), Aisyiyah (untuk membangkitkan kesadaran kaum perempuan), Nasyiatul-Aisyiyah (untuk pembinaan para gadis), dan sekolah-sekolah. Organisasi ini berkembang sampai ke luar Jawa.

Pemerintah kolonial Belanda selalu mencurigai apa yang dilakukan Achmad Dachlan ini sebagai perpanjangan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaludin al Afghani yang amat anti penjajahan, dan menyerukan persatuan umat Islam di seluruh dunia.

Upaya-upaya mereka untuk tetap menjadikan bangsa Indonesia miskin dan bodoh agar mereka tetap terjajah, dijawab oleh beliau dengan memperbanyak membangun sekolah dan mengaktifkan Majelis Penolong Kesengsaraan Umat.

Demikian pula, gerakan pendangkalan pemahaman agama dan pemiskinan kondisi sosial ekonomi sebagai tindak lanjut dari sistem penindasan Tanam Paksa yang dilakukan penjajah mulai mengalami banyak hambatan besar karena organisasi yang dipimpin Achmad Dachlan bertujuan melahirkan kalangan terdidik yang sadar akan agamanya dan menuntut Indonesia yang merdeka.

Belanda kian sadar betapa Islam menjadi kekuatan pemersatu dan pendorong semangat perlawanan akan penjajahan. Dan karena itulah, sejarah perlu dibengkokkan dan fakta-fakta yang ada harus ditutupi.

Dalam menghadapi perkembangan organisasi Islam nonpolitik, Belanda menciptakan pengimbangnya, yaitu perkumpulan Kebatinan. Misalnya, untuk mengimbangi Persyerikatan Muhammadiyah diperkuatlah Perhimpunan Seloso Kliwon yang kemudian menjadi Taman Siswo (1922) yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara.

Untuk mengimbangi Persatuan Ulama di Majalengka Jawa Barat (1915), dikembangkanlah Igama Djawa Pasoendan atau Agama Djawa Soenda di Cigugur Kuningan (1920) yang didirikan Sadewa atau yang lebih dikenal dengan nama Madrais. Belanda melakukan politik devide and rule (pecah belah, lalu kuasai) dengan menekankan pentingnya orang Indonesia berkiblat pada agama dan nilai-nilai nenek moyangnya.

Demikianlah suku Jawa dikaitkan dengan kejawaannya, dan suku Sunda dikaitkan dengan kesundaannya. Bukan dengan keislamannya !

Dalam suasana yang demikianlah, meski Taman Siswo yang berasal dari kelompok aliran kebatinan kejawen Seloso Kliwon, menolak Agama (Islam) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah, dan hanya mengajarkan Budi Pekerti Kejawaan, tetap saja hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara (tanggal 2 mei) yang dijadikan Hari Pendidikan Nasional. 

Bukan tanggal 18 Nopember, hari lahirnya Persyerikatan Muhammadiyah karena faktor keislamannya.

Dengan tetap menghargai dan tidak mengurangi jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara terhadap dunia pendidikan di Indonesia, kiranya tanggal 18 Nopember lebih layak dijadikan HARDIKNAS. Karena sesungguhnya Achmad Dachlan telah mengajarkan kepada kita kesatuan antara Keislaman dan Kebangsaan Indonesia.

Wallahu A’lam…..

*Penulis adalah Tokoh dan Pemerhati Pendidikan Sukabumi.

Editor: Red
Copyright © SUKABUMINEWS 2012

Post a Comment

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

Previous Post Next Post