Perpustakaan Sebagai Pusat Karya Kreatif dan Inovatif


Oleh: Fitri Supartika, S.E., S.Pd. (Alumnus IMMI Jakarta tahun 2007, Guru di SMKN 1 Sagaranten)

Tahun pelajaran baru dengan semangat Kurikulum 2013 menjadi penyemangat guru dan siswa. Namun demikian,  walaupun sangat bersemangat, jangan dilupakan bahwa salah satu penunjang kesuksesan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) adalah perpustakaan. Peran  perpustakaan sebagai basis pembelajaran kreatif dan inovatif harus dioptimalkan. Oleh karena itu saat mendengar ada pendapat "penjara sementara adalah perpustakaan" merupakan bentuk skeptis dari keberadaan perpustakaan. Untuk mengubah pendapat itu diperlukan perubahan paradigma terhadap fungsi dan kedudukan perpustakaan yang membutuhkan pengendalian emosi dan solusi eksistensi.

Bagaimana sebenarnya peran perpustakaan dalam KBM? Seperti dikatakan Alvin Toffler:  the illiterate of the future will not be the person who cannot read it will be a person who does not know how to learn, sebuah hasil  perenungan dengan munculnya stigma negatif perpustakaan. Menurut Toffler,  di masa yang akan datang orang yang buta huruf bukan semata-mata orang yang tidak dapat membaca, termasuk orang yang tidak dapat memahami isi buku. Yang paling celaka, dia akan menjadi orang yang tidak tahu bagaimana caranya belajar.

Keprihatinan dari Alvin Toffler di Indonesia diyakinkan oleh pernyataan Taufik Ismail. Menurut Taufi, budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia setelah merdeka sangat menurun dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Semasa zaman Belanda selama tiga tahun sekolahnya, peserta didik wajib membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku sastra yang terdiri dari 4 bahasa yaitu Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis.

Sesungguhnya, perpustakaan  merupakan salah satu sarana wajib dari kehidupan sekolah berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.  Banyak orang berpendapat bahwa perpustakaan merupakan nadi, ruh, napas, otak dari sekolah. Maka sudah merupakan suatu keharusan optimalisasi pemberdayaan perpustakaan oleh stakeholders sekolah.

Di perpustakaan, warga sekolah dapat  mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, kreativitas, dan inovatif.  Tidak hanya sebagai alternatif dari PBM (Proses Belajar Mengajar), harapannya menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua bagi mereka. Oleh karena itu bagaimana sekarang kita, tenaga pendidik dan kependidikan,  memotivasi siswa untuk rajin berkunjung dan terlibat? Karena di sana siswa diharapkan menjadi orang yang gemar membaca.

Pilzer, 1994 mengatakan, sekurang-kurangnya ada enam kompetensi dasar kepandaian yang meliputi kecakapan atau gemar membaca (read), kesenangan menulis (write), kesukaan mendengarkan (listen), keterampilan berbicara (speak), kemampuan berhitung (calculate), dan selalu berfikir kritis (reason). Sebagian besar dari syarat kecakapan yang diajukan oleh Pilzer dapat dipenuhi di perpustakaan. Oleh karena itu,  mengupayakan perpustakaan menjadi tempat yang menarik bukanlah sekedar wacana. Sekolah harus berupaya  agar ruang perpustakaan menjadi tempat yang nyaman, menyenangkan, kondusif sebagai ajang berkumpul, mencari ide, dan menularkan gagasan. Kegemaran membaca harus diikuti dengan kebiasaan menulis. Perpustakaan merupakan tempat membaca dan menulis untuk  melahirkan karya kreatif dan inovatif.

Sudah seharusnya sarana perpustakaan sekolah disertai  desain seting ruangan yang nyaman dan  dilengkapi berbagai  buku bermutu, baik  berupa buku bacaan fiksi, nonfiksi, sastra, iptek, politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, UU, religi, dan lain-lain. Sarana lainnya  jurnal, buku penunjang pelajaran, majalah, koran, kliping, meja belajar, bangku, TV, VCD, tape recorder, komputer,  serta ruang dan gedung yang representatif.

UU No. 43 Tahun 2007 mengatur tentang kewajiban pemerintah untuk menggalakan promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan (pasal 7 butir e), meningkatkan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan (butir f), dan dalam butir c menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia).

Kelengkapan ruang baca,  rak buku yang tertata sesuai dengan disiplin ilmu, ruang diskusi yang kondusif, dan tempat pelayanan petugas yang asri (bersih, rapi, indah) merupakan kebutuhan ideal di perpustakaan. Kondisi tersebut akan membuat betah dan nyaman pengunjung untuk membaca dan menulis. Kelengkapan ruang baca dan menulis harus disesuaikan dengan jumlah warga sekolah.

Begitu pun di Era Teknologi Informasi, perpustakaan harus dilengkapi sarana internet. Untuk memperoleh  literatur yang menunjang PBM Kurikulum 2013, siswa diberi kebebasan dalam memanfaatkan sarana tersebut  melalui (connect) internet. Dengan fasilitas browsing, pengguna internet dapat mencari literatur dengan mengakses  E-Book dan E-Library (Perpustakaan Elektronik). Pengunjung perpustakaan akan memperoleh  informasi secara cepat dan tepat (up to date) dalam segala bidang.

Sistem informasi perpustakaan dapat diuraikan dengan definisi:  "sebuah sistem terintegrasi, sistem manusia mesin, untuk menyediakan informasi yang mendukung operasi, manajemen, dan fungsi pengambilan keputusan dalam sebuah perpustakaan". Sistem ini memanfaatkan perangkat lunak dan perangkat keras komputer, prosedur manual, model manajemen, dan pengambilan keputusan berbasis data (Robert K Leitch dan K. Roscoe Davis. 1983).

Perpustakaan menjadi basis tempat membaca, menulis, menumbuhkan rasa kemanusiaan, empati, dan berlogika yang perlu dukungan dan semangat warga sekolah. Dukungan tersebut dapat  melahirkan kreativitas dan inovasi. Gemar membaca haruslah mulai dilakukan di sekolah. Melalui tugas dan model pembelajaran, perpustakaan dapat dioptimalisasikan perannya sebagai basis yang akan mengubah budaya masyarakat Indonesia yang suka bicara, mendengar, dan melihat. Budaya lisan harus mulai disingkirkan dengan kebiasaan (habits) baru yaitu membaca dan menulis. Untuk menumbuhkan budaya ini, peran perpustakaan sangat penting dan sentral.

Perubahan tradisi ini akan mengubah dan menghilangkan kebiasaan bermain, corat-coret, nge-game, ngobrol, ngerumpi, dan ngegosip yang justru tidak melahirkan manusia kritis. Optimalisasi perpustakaan dapat menjadikan manusia tidak mudah putus asa, loyo, melempem, rendah daya, juang, pesimis, dan mudah diprovokasi yang melahirkan tindakan destruktif yang akan  merugikan kepentingan masyarakat.

Kebiasaan membaca sabagai kebutuhan akan mendorong  orang melakukan aktivitas  tersebut di setiap kesempatan. Sering membaca dan berdiskusi dalam kelompok kecil di waktu luang dan menulis di perpustakaan dapat memunculkan ide kreatif. Oleh karena itu seorang guru harus memulai terlebih dahulu dengan mengadakan "aksi" membaca dan melahirkan inovasi kreatif. Tugas di perpustakaan tidak sebatas pembelajaran bahasa karena semua mata pelajaran sangat membutuhkan buku acuan lain (referensi) yang memperkuat teori dalam setiap mata pelajaran. Sebuah reward (penghargaan) bagi siswa yang aktif berkunjung ke perpustakaan harus disiapkan.

Menurut Friderich Scheneider, model pembelajaran lama harus diubah.  Sebab mengajar bukan hanya mengantarkan pengetahuan pada siswa tetapi juga mengembangkan bakat siswa, membentuk kemampuan untuk mengerti, menilai dan menyimpulkan juga memberikan bahan pengajaran yang membantu siswa untuk mengembangkan fantasi, empati, serta hasrat-hasratnya. (Sindhunata, 2000).

Dari pemikiran inilah, konsep perpustakaan sebagai basis pembelajaran ditumbuhkembangkan. Upaya elemen masyarakat mengadakan perpustakaan keliling, rumah perpustakaan, perpustakaan kolektif, pondok baca mandiri, atau apapun bentuknya bukanlah merupakan kesia-siaan.

Hakikatnya, aktif membaca akan membuka cakrawala baru dalam berpikir dan bertindak. Dari sini muncul refleksifitas diri, motivasi, empati, serta kreatifitas dan inovasi. (*)

Post a Comment

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

أحدث أقدم