Mengenal Ajengan Muhammad Masthuro


sukabumiNews.net
– K.H. Masthuro, atau yang lebih dikenal dengan Ajengan Masthuro dilahirkan di Kampung Cikaroya, sebuah kampung yang bertetangga dengan Kampung Tipar tempat Al-Masthuriyah kini berada, pada tahun 1901. Ayahnya bernama Kamsol. Bapak Kamsol sering juga disebut Bapak Uha. Nama Uha diberikan orang kepada Bapak Kamsol karena diambil dari salah seorang putranya. Keseharian Bapak Kamsol adalah sebagai Amil atau Lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa

Bismillahirrahmanirrahim

Buku Biografi ini, kami yakin tidak dapat menggambarkan K.H. Masthuro secara keseluruhan. Tetapi sebagai langkah awal, buku ini dapat mengilhami terbitnya buku-buku yang lain. Dengan demikian gambaran tokoh pengubah sejarah ini akan semakin lengkap dan utuh.


Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penerbitan buku ini, terutama kepada Putra?putri, mantu, Keturunan, Murid K.H. Masthuro yang telah memberikan data yang kami perlukan. Mudah-mudahan amal baiknya dibalas Allah SWT dan dijadikan-Nya sebagai amal sholeh.

Saran dan kritik dapat pembaca sampaikan kepada kami, untuk perbaikan selanjutnya.
Sukabumi, September 2002

Team Penyusun,


SILSILAH DAN KETURUNAN K.H. MASTHURO


K.H. Masthuro dilahirkan di Kampung Cikaroya, sebuah kampung yang bertetangga dengan Kampung Tipar tempat Al-Masthuriyah kini berada, pada tahun 1901. Ayahnya bernama Amsol. Bapak Amsol sering juga disebut Bapak Uha. Nama Uha diberikan orang kepada Bapak Amsol karena diambil dari salah seorang putranya. Keseharian Bapak Amsol adalah sebagai Amil atau Lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa.


Bapak Amsol adalah nama samaran dari Asror. Beliau menggunakan nama samaran itu untuk menghindar dari kejaran Belanda.
Karena tidak mau tunduk ke penjajah, beliau melarikan diri dari Kuningan ke Bogor yang kemudian memperoleh istri dari Cimande Bogor yang bernama Ibu Eswi.


Silsilah K.H. Masthuro ke atas, dapat dilihat pada tabel berikut:
Bapak Amsol memiliki 10 anak; 8 perempuan dan 2 laki-laki. Kesepuluh putra Bapak Amsol itu adalah :


1. K.H. Hasan Munir yang wafat di Mekah. Beliau memiliki satu anak yaitu U. Mukhtar.
2. Ibu Enoh yang memiliki anak : Ibu Acah dan K.H. Sanusi. Yang terakhir ini adalah pendiri Pondok Pesantren Sunanul Huda Cikaroya yang kini diasuh oleh putrnya K.H. Dadun Sanusi.
3. Ibu Opoh yang melahirkan 7 anak, yaitu : M. Mahbub, Ibu Opih, Bapak Upar Soemantri, Ibu Maemunah, Ibu Uki, M. Roli dan Ibu Iyot.
4. Ibu Gedoh yang memiliki anak antara lain ; Ibu Jujuh dan Ibu Kana.
5. Ibu Iyah, memiliki tiga anak : Ibu Encum, M. Husoh dan Ibu Eha.
6. Ibu Ooh, memiliki dua anak: K. Ibrahim dan Ibu Aah. K. Ibrahim adalah perintis sebuah pesantren yang letaknya di Ciwi desa Cimahi Cibadak Sukabumi yang kini diasuh putranya.
7. Ibu Emi yang memiliki satu anak, yaitu Memed Juaini.
8. Ibu Entah, yang memiliki 4 anak: K.H. Kholilullah, Ibu Juwa, Bapak Maman, dan Ibu Nyai. K.H. Kholilullah adalah salah seorang Tasyabah bi al-Salafi al-Sholihin mina al-Mutaqaddimin fi Thobaqaati al-Ula yang juga salah seorang murid kepercayaan K.H. Masthuro.
9. K.H. Masthuro
10. Ibu Koko, yang memiliki anak antara lain : Ibu Jejeh, Ibu Empat, Bapak Daman, dan Ibu Lilis.

Selain Ibu Eswi, Bapak Amsol juga memiliki istri yang berasal dari Cijengkol. Dari dia, Bapak Amsol memiliki 2 anak, yaitu Ibu Iyo dan Bapak Uha. Dari Bapak Uha ini lahirlah keturanan, yaitu : Abas, Zakaria, Ibu Mimi, dan H. Idi Hidayat, BA.

Diantara katurunan Bapak Amsol yang mendirikan dan mengasuh pondok pesantren atau majlis ta’lim dan sejenisnya, adalah:

1. K.H. Masthuro (putra),
2. K.H. Sanusi (Cucu), mendirikan Pondok Pesantren Sunanul Huda di Cikaroya desa Cibolangkaler Cisaat Sukabumi, yang kini diteruskan putranya K.H. Dadun Sanusi.
3. K.H. Kholilullah (cucu), mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Sirajul Athfal di Cibaraja (Paledang) Cibolngkaler Cisaat Sukabumi.
4. K. Ibrahim (Cucu), yang merintis pendirian pesantren di Ciawi Cimahi Cibadak Sukabumi.
5. K. Mahbub (Cucu) yang mendirikan dan mengasuh pesantren di Cireundeu Cibadak Sukabumi.
6. K. Husoh (Cucu) yang mendirikan dan mengasuh pesanten di Sangiang Cihurang Pelabuhanratu Sukabumi.


Keturunan K.H. Masthuro diperoleh dari dua istrinya, yaitu Ibu Momoh (Fatimah) dan Ibu Hj. Hafshah putri Bapak Mad Nafi (atau Muhammad Nafi) dan Ibu Maemunah.
Dari istri pertama K.H. Masthuro memperoleh dua orang putri, yaitu Ibu Yayah Badriyah dan Siti Maryam (almarhumah).


Ibu Yayah Badriyah bersuamikan K.. Ahmad Mubarok (wafat tahun 1974) salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Pasangan ini dikaruniai 9 anak, yaitu : H. Dudun Abdullah, S.Ag, Didah, Faiz (alm), Drs. Puadiatma, Dayat (alm), Titoh, Dra. Nanih Mahendrawati, Drs. D.A. Syujai, dan Engkus Suratman.


Setelah Ibu Mohom (Fatimah) meninggal dunia, KH. Masthuro menikah dengan Ibu Hj. Hafsoh, dikaruniai 11 anak, yaitu:

1. Ibu Hj. Bahiyah yang bersuamikan K.H. Moh. Sanusi, salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Cucu K.H. Masthuro yang lahir dari pasangan ini berjumlah 14. Yaitu: Hj. Pipih Apifah, Drs.K.H. Abdurrahim Sanusi, Hj. Aam Amalia, Umem Umaimah, Hj. Fuah Maria Ulfah, Hj. Nenah Herlina, S.Ag, Hj. Entin Asnawati, H. Moh. Fauzi, S.Ag. H. Abubakar Sidik, S.Ag., Drs. Hasan Basri, Enceng Husen, S.Ag., Dra. Efi Dzulfa, Ayi Abdul Bashit, S.Ag., dan Dewi Bahagia Rahmati, SE.

2. Ibu Hj. Dedeh Rohaenah (alm) yang bersuamikan H. Uci Sanusi (alm). Dari pasangan ini lahir 10 anak, yaitu : Didoh Fakhiroh, Hj. Oom Hasanah, Mumu Mudzakkir, S.Ag., Ubaidillah, S.Ag., Aang Sobandi (alm), Emun Munawaroh, S.Ag., Abdul Fatah (alm), Umar Sanusi, S.Ag., Drs. Edi Mursidi, Dra. Imi Hamidah, Sofwan Iskandar,S.Ag., Dudung Abdurrahman, S.Ag.

3. Ibu Hj. Nafisah (alm) yang bersuamikan K.H. M. Sukandi (alm), salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Dari pasangan ini K.H. Masthuro tidak dikarunia keturunan.

4. K.H. Syihabuddin (alm) yang bersistrikan Ibu R. Hj. Chodijah, putri Pengasuh Pesantren Al-Falah Sukamantri Cisaat Sukabumi. Cucu K.H. Masthuro yang lahir dari pasangan ini berjumlah 8 orang, yaitu: Ibu Euis Aisyah, Hj. Dedah, S.Ag., H. Abdul Muiz, S.Ag., Gugun Gunawan (alm), Usman Syihabuddin, SH, Drs. H. Usep Saepulhaq, Budi Abdul Muhyi, S.Ag., Ahmad Syahid, S.PdI.

5. Ibu Hj. Siti Habibah yang bersuamikan K.H.U. Thabari, salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Dari pasangan ini lahir 9 anak, yaitu : Hj. Aoh Wafiroh, Yus Thabari, S.Ag., Dra. E. Fatimah, Wawang Munawar, S.Ag., Aliyuddin, SE, Drs. Ahmad Zabidi, Hidayat Thobari, S.Ag., Endang Iskandar, SIP, Dindin Izudin, S.Ag.

6. Izzudin (Enjud) yang meninggal dunia pada usia 9 tahun.

7. K.H.E. Fakhruddin yang beristrikan Hj. E. Subaehah, putri K.H. Moh. Basroh Pengasuh Pesantren Al-Falah dan Al-Hikmah Caringin Cibadak Sukabumi. Dari putra lelaki kedua ini, K.H. Masthuro dakaruniai 6 orang cucu, yaitu : H. Sholahuddin, S.Ag., Drs. H.A. Yusuf Syamsul Fuad, Zaenassolihin (alm), H. Cecep Khairul Anwar, S.Ag., Neng Nina Fatimatuzzahro, Neng Vera Fakhriyah.

8. Ibu Hj. Siti Shobihat yang bersuamikan K.H. Daman Azhar, salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Cucu K.H. Masthuro yang lahir dari pasangan ini ada 9 anak, yaitu : Ida Suaidah (alm), Siti Suaidah (alm), Dra. Eti Ratnawati, Nia Puspita, S.Ag, Irfan Hidayatullah, S.Ag., Nita Haryati, SH., Winda Fauziah, dan Andi Abdul Bashit.

9. Ibu Hj. Siti Rofi’ah yang bersuamikan H.M. Soleh, salah seorang santri K.H. Masthuro yang kemudian ikut mengajar pada periode K.H. Masthuro. Cucu K.H. Masthuro dari pasangan ini berjumlah 4 orang, yaitu: Drs. Dadan Ramdhan, Drs. Herlansyah, Irwan Irawan, S.Ag., dan Nesa Khoerunnisa.

10. Drs.K.H.A. Aziz Masthuro yang beristrikan Hj. Lya Hulyati, S.Ag., putri K.H. D.A. Syadzily, seorang tokoh ulama di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Keturunan K.H. Masthuro yang lahir dari anak bungsunya ini ada 6 orang, yaitu: Hj. Nely Rizanaty, S.Ag., Hj. Lety Tahliaty, S.Ag., Farhan Jayid, Irham, Unsur Fuady dan Nurhaliza

11. Bapak Acep (alm)
Cucu K.H. Masthuro yang berjumlah 75 (dikurangi 8 karena meninggal) mereka itu kebanyakan tinggal dan menetap di Al-Masthuriyah. Mereka yang tidak tinggal di Al-Masthuriyah, mengikuti kakeknya, mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam, di tempat tinggalnya, ada pula yang hanya mengajar atau mengikuti suaminya berwiraswasta.
Untuk lebih jelasnya tentang keturunan K.H. Masthuro dapat dilihat pada bagan berikut :


PENDIDIKAN K.H. MASTHURO


Sebagaimana kebiasaan masyarakat pedesaan pada masa itu, K.H. Masthuro memulai kegiatan mencari ilmunya dengan belajar membaca Al-Quran. Ini dimulainya pada saat ia berusia enam tahun, yaitu pada tahun 1907. Guru pertama beliau dalam membaca Al-Quran ini adalah Ayahnya sendiri, Bapak Amsol.


K.H. Masthuro pada tahun 1909 dalam usianya menginjak tahun kedelapan, pergi menuntut ilmu di Pesantren Cibalung Desa Talaga Kecamatan Cibadak Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Asyari yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Kampung Tipar.

Di Pesantren ini K.H. Masthuro selain memperdalam penguasaan membaca Al-Quran, juga mulai mempelajari kitab-kitab kuning. Disinilah pertama kali K.H. Masthuro mengenal kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan dibanyak pesantren sampai sekarang.
Pada tahun 1911 pada saat usianya 10 tahun, K.H. Masthuro masuk sekolah kelas II di Rambay Cisaat yang berjarak 4 kilometer sebelah Timur Kampung Tipar. Beliau pergi ke sekolah setiap hari dengan berjalan kaki. Pada tahun 1914, setelah tiga tahun belajar di sekolah ini, ia berhasil lulus dengan memperoleh ijazah.

Di samping sekolah di Rambay, K.H. Masthuro pada tahun yang sama ia juga mengaji kitab-kitab kuning di Pesantren Tipar Kulon yang dipimpin oleh K.H. Kartobi. Di pesantren ini, ia perdalam kembali apa yang pernah diperolehnya di Pesantren Cibalung sambil meningkatkan diri untuk mempelajari kitab-kitab yang belum pernah dipelajari di Pesantren Cibalung itu.

Selepas menamatkan pendidikannya di sekolah di Rambay, K.H. Masthuro kembali menjelajah dunia pesantren. Pada tahun 1914, ia kembali mengaji kitab-kitab kuning. Kali ini pesantren yang dipilihnya adalah Pesantren Babakan Kaum Cicurug Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Hasan Basri yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kampung Tipar.

Pada masa yang sama, K.H. Masthuro juga ikut mengaji di Pesantren Karang Sirna Cicurug yang dipimpin oleh K.H. Muhammad Kurdi. Jarak yang tidak begitu jauh dari pesantren tempat ia tinggal, memungkinkannya untuk mengaji di dua pesantren pada saat yang bersamaan. Di pesantren ini, seperti juga di pesantren-pesantren lainnya, K.H. Masthuro mempelajari kitab-kitab kuning terutama yang belum dipelajarinya.

Di dua pesantren di atas, K.H. Masthuro hanya mengaji selama satu tahun saja. Pada tahun berikutnya, 1915, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di pesantren Paledang Cimahi Cibadak Sukabumi pimpinan K.H. Ghazali.

Pada tahun yang sama, yaitu 1915, K.H. Masthuro berpindah ke Pesantren Sukamantri Cisaat yang diasuh dan dipimpin oleh K.H. Muhammad Sidiq. Jarak pesantren ini dengan rumahnya sekitar lima kilometer.

Pada tahun 1916 masuk Sekolah Ahmadiyah yang terletak di Kota Sukabumi. Nama Ahmadiyah ini bukanlah nama salah satu aliran, Ahmadiyah, yang ada dalam ummat Islam seperti sekarang ini. Pada tahun yang sama, K.H. Masthuro juga mempelajari kitab-kitab di Pesantren Pintuhek, Sukabumi, yang dipimpin oleh K.H. Munajat.

Pada tahun 1918, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di Pesantren Cantayan yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi. Di pesantren ini, beliau belajar selama dua tahun dan selesai pada tahun 1920.

Pada tahun 1920 itulah beliau kembali ke kampung halamannya untuk membuka lembaran baru yang cerah dan menyinari masyarakat yang dalam kegelapan dengan membuka pesantren sebagai tempat pengamalan ilmunya dan pengabdiannya kepada masyarakat untuk meraih mardlatillah.

Kendatipun K.H. Masthuro sudah kembali ke kampungnya dan sudah mendirikan pesantren yang memiliki santri yang banyak serta menjadi ulama yang dihargai dan dihormati, dorongan untuk menuntut ilmunya tidak terhenti. Semangat memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasannya tidak pernah padam.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama dan kyai, K.H. Masthuro ikut mengaji kitab-kitab di Sukabumi yang dilaksanakan oleh Al-Habib Syech Ibn Salim Al-Attas, seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad SAW.

Disinilah Al-Habib Syech mlihat sifat-sifat mulai pada diri K.H. Masthuro; tawadu, ikhlas, ta’dzim kepada guru, cerdas, dan sebagainya. Karena akhlaq karimah yang dimilikinya, membuat Al-Habib Syech begitu mencintainya.

Kecintaan dan rasa hormat K.H. Masthuro kepada habaib (keturunan Rasullah SAW) semakin mempertebal kecintaan gurunya. Sehingga pada saat menjelang wafatnya, Al-Habib Syech meminta untuk dikebumikan di samping murid kesayangan dan kepercayaannya, K.H. Masthuro. Kini, murid dan guru dikebumikan berdampingan. Suatu bukti antara keduanya terjalin bukan hanya hubungan cinta dan kasih sayang, tetapi lebih dari itu.

Untuk lebih jelasnya, riwayat pendidikan K.H. Masthuro ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

PESANTREN DAN PENGAJIAN
TEMPAT K.H. MASTHURO BELAJAR


No. Nama pesantren/alamat nama kyai tahun

1 rumah orangyuanya bapak Amsol 1907-1909
2. Cibalung Talaga Caringin K.H. Asy’ari 1909-1911
3. Tipar Kulon K.H. Katobi 1911-1914
4. Babakan Kaum Cicurug K.H. Hasan Basri 1914-1915
5. Karangsirna Cicurug K.H. Muhammad Kurdi 1914-1915
6. Paledang Cimahi Cicantayan K.H. Ghazali 1915-1916
7. Sukamnatri Cisaat K.H. Muhammad Sidiq 1916-1916
8. Pintu Hek Sukabumi K.H. Munajat 1916-1918
9. Cantayan Cicantayan K.H. Ahmad Sanusi 1918-1920
10 Sukabumi Al Habibib Syech Ibn Salim Al Attas


Tabel 2

SEKOLAH TEMPAT K.H. MASTHURO BELAJAR

No nama sekolah alamat tahun keterangan
1. Sekolah Kelas II Rambay Cisaat 1911-1914 berijazah
2. Ahmadiyah Sukabumi 1916-1918 berijazah


KEGIATAN DAKWAH

Dalam pelaksanaan dakwahnya, K.H. Masthuro lebih banyak menggunakan cara praktis dengan membaurkan diri dalam kehidupan orang yang akan diajaknya. Membaurkan diri dalam kehidupannya, tidak berati ikut larut dalam kegiatan mereka dengan melupakan prinsip sehingga meninggalkan apa yang akan disampaikannya itu.

Dalam prakteknya, K.H. Masthuro menggunakan media dakwah seperti : memancing, tembang sunda, menjala ikan, pencak silat, dongeng sunda, negepung (menyumpit burung di sawah), dan adu kuda-kudaan (di sungai yang airnya deras). Penggunaan media tersebut, didasarkan bahwa kegiatan-kegiatan itulah yang paling banyak digemari masyarakat.
Sebagai illustrasi penggunaan media dakwah dengan tembang sunda, dapat diceritakan berikut :

Kampung Ciawi yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari rumah K.H. Masthuro memiliki masyarakatnya kegemaran mendengarkan tembang sunda. Setiap malam mereka selalu berkumpul untuk menyalurkan kegemaran ini. Akitabnya, banyak ajaran Islam, seperti shalat, ditinggalkan.

Melihat ini, K.H. Masthuro mengajak temannya yang pandai melantunkan tembang sunda. Merekapun berangkat ke kampung itu. K.H. Masthuro beserta temannya terlibat dalam kesenangan mereka. Mereka memperbincangkan tembang sunda. Tema pembicaraan yang sesuai dengan kegemaran mereka, tentu saja sangat menarik dan menimbulkan rasa simpati. Bukan hanya itu.

K.H. Masthuro pun menyumbangkan tembang sunda melalui temannya tadi. Maka lengkaplah sudah simpati masyarakat Ciawi terhadap K.H. Masthuro. Ketika suatu malam Jumat, K.H. Masthuro mengajak masyarakat untuk meninggalkan tembang sunda, dan mennggantikannya dengan membaca qul-hu (surat al-Ikhlas). Karena sudah bersimpati, maka ketika K.H. Masthuro mengajaknya untuk mempelajari bacaan-bacaan shalat dan al-Quran disambutnya dengan penuh antusias.

Media dakwah memancing digunakan K.H. Masthuro ketika mengetahui adanya seorang preman baragajul yang bernama Mari. Tubuhnya kekar. Perangainya buruk dan menakutkan. Diantara kegemaran Mari yang paling disukainya adalah memancing. Mengetahui itu kegemarannya, K.H. Masthuro mendatangi Mari. Beliau menanyakan segala masalah yang berhubungan dengan memancing.

Yang ditanya tentu saja menjawab dengan penuh semangat karena pertanyaan yang diajukan sesuai dengan kesenangannya. Pada akhir pembicaraan, disepakatilah untuk memancing bersama. Kedua insan yang berbeda ini pun pergi memancing. Pada saat asyik dengan kegiatannya, datang waktu shalat dzuhur. K.H. Masthuro meminta ijin kepada Mari untuk melaksanakan shalat. Salatlah K.H. Masthuro di atas batu, disaksikan oleh teman barunya. Begitu pula ketika datang waktu shalat ashar.

Menjelang magrib, keduanya kembali ke rumah K.H. Masthuro. Setibanya di rumah, K.H. Masthuro meminta Mari untuk tidak pulang dulu karena akan disajikan makan besar. Sebelum makan malam, K.H. Masthuro meminta ijin untuk menunaikan shalat. Mari sendiri tidak shalat. Seusai shalat, buru-buru K.H. Masthuro ke luar masjid, tanpa membaca wirid dan shalat sunat. Padahal wirid dan shalat sunat kebiasaan K.H. Masthuro yang tak pernah ditinggalkannya. Makanlah mereka berdua.

Usai makan, K.H. Masthuro membekali Mari ikan yang besar untuk istrinya yang ditinggalkannya seharian. Sejak itulah, Mari merasa terkesan dengan K.H. Masthuro. Yang paling mengesankannya terutama adalah perhatian seorang Kyai besar kepada preman besar. 

Kyai itu tidak memperlihatkan rasa benci dan jijik sedikitpun kepada Mari sebagai preman pembuar onar. Perhatian yang besar itu ditunjukkan dengan sajian makanan yang serba ada, tidak melakukan shalat sunat dan wirid karena ada tamu agung, dan dibekalinya ikan untuk istrinya.


KIPRAH K.H. MASTHURO DALAM PENDIDIKAN


Setelah 13 tahun menuntut ilmu di pelbagai pesantren dan sekolah/madrasah, pada tahun 1920 K.H. Masthuro kembali ke kampung tempat beliau dan orangtuanya tinggal. Keadaan Kampung Tipar terutama kampung-kampung di sekitarnya pada saat itu, tidak jauh berbeda dengan 13 tahun yang silam, saat beliau mulai meninggalkannya.

Kehidupan penduduk yang mayoritas telah memeluk agama Islam belum juga mau meninggalkan kebiasaan buruknya, mengerjakan pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh seorang muslim. Kemaksiatan bagi banyak penduduk sudah merupakan suatu kebiasaan yang mendarah daging yang telah menjadi candu yang menuntut pengulangan berkali-kali. Mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi untuk mempertontonkan kemaksiatan itu di hadapan banyak orang, bahkan di hadapan anak dan istrinya yang menjadi tanggung jawabnya.

Kemaksiatan yang berkembang dan banyak dilaksanakan penduduk pada saat itu banyak sekali. Diantaranya judi, mengadu ayam, ronggeng yang menjurus pada prostitusi tahap awal, dan madat. Kegiatan peribadatan menjadi sepi. Banyak orang yang berani meninggalkan shalat yang merupakan tiang agama Islam. Bahkan telah berkembang suatu kepercayaan atau aliran yang disebut Hakok.

Kondisi masyarakat seperti itulah yang antara lain mendorong K.H. Masthuro untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam sebagai tempat pembinaan manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi orang lain, dapat menuntut dirinya dan orang lain untuk meninggalkan hAl-hal yang dilarang Islam dan mengerjakan apa-apa yang menjadi perintah Islam. Di samping itu, tuntutan dirinya sebagai orang yang telah banyak makan garam pendidikan pesantren dan madrasah semakin memperkuat tekad dan keinginannya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam.

Untuk melaksanakan keinginan ini, K.H. Masthuro memilih kampung Tipar. Dipilihnya kampung ini atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang antara lain :

1. Kampung Tipar adalah tempat tinggalnya.
2. Sarana pendidikan yang berupa tempat telah tersedia.
3. Di Kampung ini tinggal dan menetap Lurah Desa Cimahi.
4. Kampung ini sangat strategis untuk lembaga pendidikan karena tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan kota Sukabumi, di samping memiliki air yang cukup banyak dan berhawa sejuk.
5. Di sekitar Kampung Tipar banyak hartawan yang dapat membantu kelancaran pendidikan dari segi finansial.


Pada tanggal 9 Rabiul Akhir 1338 H bertepatan dengan 1 Januari 1920 M, mulailah K.H. Masthuro mendirikan sebuah madrasah di Kampung Tipar yang diberinya nama Sekolah Ahmadiyah, sebagai cabang dari Ahmadiyah Sukabumi. Pada tahun 1941 memisahkan diri dan berdiri sendiri dengan nama Sekolah Agama Sirojul Athfal.

Pada tahun 1935 K.H. Masthuro, setelah menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima atas jasa baik dan kedermawanan seseorang di Kampung Cikukulu Desa Cisande, mulai memusatkan perhatiannya pada pendidikan di pesantren. Tugas-tugas mengajar di sekolah ditinggalkannya.

K.H. Masthuro berani melaksanakan strategi semacam ini setelah madrasah ini dapat melahirkan banyak alumni yang dapat diandalkan untuk diberi tugas melanjutkan perjuangannya mendidik dan mengajar murid sebagai titipan orantuanya. Di samping itu, K.H. Masthuro sudah mendapatkan dua pembantunya; M. Mukhtar dan M. Syarkowi, yang telah selesai melaksanakan pendidikan di Ahmadiyah Sukabumi tempat K.H. Masthuro dulu menuntut ilmu.

Pada tahun 1950 K.H. Masthuro atas saran dan hasil musyawarah dengan anak-anak dan para penerusnya, mendirikan sekolah baru dengan nama SEKOLAH AGAMA SIRAJUL BANAT.

Sekolah Agama Sirajul Banat ini diperuntukkan bagi perempuan. Murid laki-laki, dengan adanya madrasah ini, otomatis terpisah dari murid perempuan.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah putra K.H. Masthuro yang bernama K.H.E. Fakhruddin selesai menuntut ilmu dari Pondok Pesantren Ciharashas Cianjur, ia diberi tugas oleh ayahnya untuk memulai berkiprah di lembaga pendidikan. Setelah K.H.E. Fakruddin diberi tugas, ia mengusulkan agar didirikan Madrasah Tsanawiyah. Usulannya ini didukung oleh beberapa keluarga diantaranya Hj. Umi Bahiyah. Atas dasar usulan dan dengan melihat tuntutan kebutuhan masyarakat, maka pada tahun 1966, Sekolah Agama ini diresmikan menjadi MADRASAH TSANAWIYAH SIRAJUL ATHFAL/BANAT.

Di Madrasah Tsanawiyah ini selain pendidikan agama, juga diajarkan pendidikan umum dengan perbandingan 75 % agama dan 25 % umum. Bagi Sirajul Athfal/Banat, masuknya pendidikan umum ke dalam kurikulum bukanlah merupakan sesuatu yang baru sejak awal pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan keterampilan yang dikelompokkan sebagai pelajaran umum, sudah diajarkan oleh K.H. Masthuro walaupun dalam pendekatan tersendiri dan dalam bentuk yang sederhana.

Pendidikan kemasyarakatan diajarkan dengan menggunakan pendekatan keagamaan. Artinya bertolak dari ajaran-ajaran agama dan sebagai pengamalan ajaran agama. Pendidikan keterampilan diberikan tidak dalam bentuk teori di kelas, tetapi lebih banyak menggunakan bentuk praktek-praktek dengan tetap menggunakan bentuk teori yang umumnya beruapa pembetulan kesalahan dalam praktek. Pendidikan keterampilan yang dilatihkan K.H. Masthuro adalah keterampilan bidang pertanian yang dipokokkan pada peternakan ikan.

Dalam perkembangan berikutnya, untuk menyalurkan keinginan masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, pada tahun 1967/1968 didirikanlah MADRASAH ALIYAH SIRAJUL ATHFAL/BANAT, sebagai kelanjutan dari Madrasah Tsanawiyah.

Setelah K.H. Masthuro wafat (tanggal 27 Rajab), estapeta perjuangan diteruskan oleh putra-putri beliau dan para alumni. Pasca K.H. Masthuro, Al-Masthuriyah mengalami perkembangan yang sangat bagus sehingga disposisikan sebagai lembaga pendidikan bertaraf Nasional dengan siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Sampai saat ini terdapat lembaga pendidikan RA, MI, MD, MTs, MAU, MAK, SMU, SMK, STAI dan Pondok Pesantren.

HUBUNGAN K.H. MASTHURO DENGAN MURID

Dalam pendidikan, hubungan pendidik dengan ana didik haruslah terjalin hubungan mencerminkan kasih sayang. Guru harus dapat bertindak seperti seorang Ibu yang melahirkan anaknya. Guru adalah pengganti orangtua murid. Walau demikian, prinsip-prinsip pendidikan dan pengajaran yang lain tetap harus ditegakkan, jangan terkalahkan oleh prinsip kasih sayang.

Prinsip-prinsip itu, dalam praktek pendidikan dan mengajar, diterapkan oleh K.H. Masthuro. Kedekatan murid dengan guru merupakan ciri yang melekat pada hubungan ini. Tetapi kedekatan ini, tidak melupakan murid bahwa K.H. Masthuro adalah gurunya dan ulama yang harus dihormati. Hubungan murid dengan guru dibatasi oleh rasa hormat yang tinggi. Ini bukan K.H. Masthuro yang mengharuskannya, tetapi perbuatan K.H. Masthuro-lah yang membuat murid-muridnya menghormatinya.

Dalam memperbaiki kesalahan prilaku yang dIbuat oleh murid, K.H. Masthuro menerapkan sikap yang tegas. Kesalahan sekecil apapun akan diperbaikinya. Siapapun yang salah, bahkan anaknya sekalipun, akan ditegurnya dengan teguran yang kadang terdengar keras.

Dalam masalah berpakaian misalnya, sekalipun pada masa itu tingkat ekonomi rakyat masih sangat rendah, prinsip kerapian dan kebersihan tetap ditegakkan K.H. Masthuro. Setiap murid harus berpakaian rapi dan bersih. Bila memakai sarung, maka sarungnya harus dililit dengan sabu. Semua diawasinya dengan ketat, sehingga tak ada satu pun yang memakai sarung tanpa memakai sabuk. Suatu kebiasaan yang tak pernah ditemukan pada saat itu, di manapun.

HUBUNGAN K.H. MASTHURO DENGAN GURU DAN KARYAWAN

Pada masa awal pendirian Sekolah Agama Desa Tjimahi, jumlah guru dan karyawan tidak banyak. Guru yang ada dan ikut membantu K.H. Masthuro dalam pelaksanaan tugas-tugas kependidikan dan pengajaran, adalah murid-muridnya yang telah lulus mengikuti pendidikan kembali (semacam kursus).

Cerminan hubungan K.H. Masthuro dengan guru dan karyawannya, karena itu adalah cerminan hubungan dengan murid. Bagaimanapun murid-murid K.H. Masthuro yang kini sudah menjadi guru itu, tetap menempatkan dirinya sebagai murid K.H. Masthuro. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa K.H. Masthuro adalah sejawat seprofesi.

Sebagai seorang pemimpin, tentu saja K.H. Masthuro menempatkan alumninya itu sebagai seorang guru yang layak dihormati murid-muridnya. Sebagaimana mereka menghormatinya sebagai gurunya. Para guru itu, diarahkan oleh K.H. Masthuro supaya menjadi guru yang semestinya. Diajarinya bagaimana memberikan materi pengajaran. 

Diajarinya pula bagaimana membentuk kebiasaan baik pada murid-muridnya. Bimbingan yang dilakukan K.H. Masthuro terhadap guru-gurunya itu dilaksanakannya secara konsisten dan terus menerus, bahkan selama 24 jam. Karena itu, tampak seolah-olah guru diberlakukan sama dengan murid. Diawasi dan ditegur sama dengan murid.

Dalam memperbaiki kesalahan guru, tindakan K.H. Masthuro selaku pimpinan adalah tegas. Prinsip harus dilaksanakan. Kedisiplinan melaksanakan prinsip inilah yang membuat kesamaan persepsi antara K.H. Masthuro sebagai pimpinan dengan guru-guru sebagai pelaksana teknis. Tujuan yang diarah oleh guru adalah tujuan yang telah ditetapkan pimpinannya. Metolodogi pelaksanaan pendidikan adalah metodologi yang diterapkan oleh K.H. Masthuro.

Dalam masalah kesejateraan guru dan karyawan, K.H. Masthuro juga sangat memperhatikannya. K.H. Masthuro memang tidak memberikan gaji dan kesejahteraan, pada awalnya, dalam bentuk gaji bulanan misalnya. Guru dan karyawan pun tidak menunut banyak, di samping kegiatannya sebagai pengabdian kepada gurunya juga tuntutan jaman pada masa itu tidak tinggi. Kehidupan cukup dengan sesuatu yang sederhana sekali.

Sebagai pimpinan K.H. Masthuro tetap memperhatikannya. Guru diberinya suatu jalan keluar agar dia dapat mencari kehidupannnya sendiri dengan tanpa meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pendidik dan pelajar. Misalnya ada guru yang diberinya kesempatan untuk menjualkan kitab-kitab pelajaran dan beberapa asesoris santri seperti minyak wangi. Keuntungan penjualan itu menjadi milik guru yang bersangkutan. Atau ada juga yang diberinya kesempatan untuk berjualan pangan santri. Tentu saja keuntungannya juga untuk penjual itu. K.H. Masthuro dalam hal ini hanya mengawasi saja. Diawasinya apakah usaha itu menghasilkan atau tidak, kurang atau pas-pasan.

Pada masa perkembangan berikutnya, guru sudah memiliki kesejahteraan dan gaji yang tetap. Untuk menggaji guru dan karyawan, K.H. Masthuro mewajibkan murid-muridnya untuk membayar uang sekolah. Tidak semua murid mebayar dan tidak semua murid membayar penuh. Karena itu tentu saja untuk kesejahteraan guru dan karyawan ini tidak mencukupi. Sebagai pimpinan, K.H. Masthuro bertanggung jawab. Kekurangan untuk menggaji guru dan karyawan ditutupinya dengan hasil pertanian dari dua kolam ikannya dan dari penghasilan K.H. Masthuro yang lainya.

USAHA-USAHA KH. MASTHURO DALAM MEMPERTAHANKAN DAN MENGEMBANGKAN PESANTREN

1. Regenerasi
Langkah awal dalam mempertahakan dan mengembangkan lembaga pendidikan ini, K.H. Masthuro melakukan regenerasi. Ada empat kelompok yang dipersiapkan K.H. Masthuro dalam langkah regenerasi ini, yaitu :
1. Anak-anak dan keturunannya.
2. Mantu
3. Alumni
4. Orang yang bukan anak, mantu dan alumni.


1. Anak dan Keturunannya.

Anak dan keturunannya merupakan amanat yang sekaligus asset yang tidak ternilai harganya, apalagi K.H. Masthuro sebagai pimpinan sebuah lembaga pendidikan Islam yang menuntut untuk terus dikembangkan sehingga tetap eksis disamping berkembang sesuai tuntutan perkembangan jaman.

Karena pentingnya keturunan untuk hal tersebut, ketika istri pertamanya meninggal, K.H. Masthuro menikah kembali dengan istri keduanya. Pernikahan ini didasari alasan bahwa dari istri pertamanya K.H. Masthuro hanya memiliki satu anak. Dan untuk regenerasi hal itu tidak memungkinkan. Alllah SWT tempat K.H. Masthuro dan muslimin lainnya bertawakal, memberikan karunia kepada K.H. Masthuro dengan 4 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. Kesebelas anak inilah yang dipersiapkan K.H. Masthuro sebagai generasi penerusnya.

Langkah regenerasi ini dilakukan dengan cara mendidik anak-anaknya dengan didikan yang sesaui dengan misi yang diemban oleh K.H. Masthuro beserta lembaga pendidikannya. Didikan awal ini dilaksanakan sebelum anak-anaknya menikmati pendidikan di luar lembaga yang dirintisnya. Dalam tahapan ini, kepada anak-anaknya, K.H. Masthuro menanamkan motivasi yang kuat agar mereka memiliki keinginan untuk meneruskan perjuangannta. Semangatnya dikobarkan. Ditanamkannya pula, betapa mulianya tugas seorang guru, apalagi yang bergerak dalam bidang agama. Disamping itu, K.H. Masthuro melarang anaknya untuk tinggal jauh dari lembaga yang diasuhnya, bahkan diharuskan untuk tinggal di lembaga itu.

Memiliki semangat saja, tanpa diimbangi dengan pengetahuan keagamaan dan manajerial, tidaklah cukup. Untuk itu, anak-anak K.H. Masthuro dikirim ke pelbagai pesantren dan sekolah untuk menggali pengetahuan agama di samping pengetahuan tentang menejemen pengelolaan pesantren. Dengan cara ini lahirlah dua kelompok anak sesuai dengan lembaga yang disiapkannya: Anak laki-laki dan Anak Perempuan. Anak laki-laki dipersiapkan selain untuk pengembangan Sirojul Athfal juga pengembangan secara keseluruhan. Anak perempuan dipersiapkan untuk pengembangan santri putri yang sejak awal berdirinya telah terdaftar dua orang perempuan.

2. Mantu

Sistim pungut mantu dalam regenerasi ini juga dilaksanakan oleh K.H. Masthuro. Dalam memilih bakal calon suami bagi anak perempuannya, K.H. Masthuro sangat berperan sekali. Beliaulah yang menentukan siapa yang bakal menjadi suaminya. K.H. Masthuro memiliki kriteria tersendiri dalam memilih mantu, disamping kriteria yang sudah ditentukan oleh Islam. Bakal mantu K.H. Masthuro selain unsur-unsur yang ditetapkan oleh Islam, juga harus memiliki jiwa kepesantrenan.

K.H. Masthuro mengutamakan calon mantunya alumni pondok pesantren, terutama pondok pesantren yang diasuhnya. Mengapa harus dari pesantren yang diasuhnya. Pertimbangannya adalah bahwa mereka lebih mengetahui tujuan dan misis serta tekanan didikan yang digariskan oleh K.H. Masthuro. Dengan langkah ini, dalam perkembangan berikutnya, tidak akan ditemui kendala-kendala yang berpangkal pada perbedaan profesi dan perbedaan missi yang dibawa para guru. Keseragaman langkah, menjadi sesuatu yang dijanjikan bakal terwujud. Ketujuh mantu K.H. Masthuro yang ada sekarang adalah alumni pesantren yang diasuhnya.

3. Alumni

Alumni K.H. Masthuro yang telah menyelesaikan pendidikannya, dipanggil kembali untuk diadakan pendidikan lanjutan yang dipersiapkan untuk mebantu dan menggantikan K.H. Masthuro. Hanya alumni yang memiliki catatan prestasi yang baiklah yang akan mendapat panggilan. Catatan prestasi ini, tidak hanya dalam hal intelektual tetapi juga dalam hal prilaku, tabiat, dan akhlak karimah. Dengan cara ini, K.H. Masthuro dapat memenuhi tuntutan regenerasi sementara anak-anaknya masih dalam tahapan mencari ilmu di tempat lain.

4. Orang yang bukan anak, mantu dan alumni.

Ini dilakukan K.H. Masthuro lebih awal. Artinya sebelum ketiga generasi penerus di atas lahir. Cara ini dilakukannya dengan meminta bantuan Ahmadiyah Sukabumi sebagai sekolah induknya untuk mengirimkan guru bantuan. Sebagai induk, Ahmadiyah tentu saja memperhatikan cabangnya yang terlihat mulai merangkak maju. Maka pada tahun 1934 sepulangnya K.H. Masthuro dari menunaikan ibadah haji, dikirimlah dua orang guru bantu, yaitu M. Muhtar dan M. Sarkowi.

Dengan dikirimnya dua guru bantu ini, K.H. Masthuro sudah mulai berani mengkonsentrasikan diri pada urusan pesantren. Sejak saat inilah lahir sistem pesantren yang berdiri sendiri.

2. Wasiat K.H. Masthuro

Wasiat adalah amanat yang disampaikan oleh seseorang sebelum ia meninggal dunia. Wasiat umumnya disampaikan oleh orangtua kepada anaknya. Anak yang diwasiati, sebagai bukti birr Al-walidain, harus melaksanakan wasiat itu.
Sebelum wafat K.H. Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, (dalam bahasa Sunda), yaitu :

1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun Pesantren, Madrasah. Ulah Pagirang-girang tampian.
2. Ulah Hasud
3. Kudu nutupan kaaeban batur
4. Kudu silih pikanyaah
5. Kudu boga karep sarerea hayang mere
6. Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah

Wasiat K.H. Masthuro point pertama memiliki makna penting dalam menanamkan dan memperkuat kembali keinginan untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan K.H. Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya.

Di antara penafsiran yang pernah dilontarkan adalah bahwa memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah, bukan hanya tinggal, mukim, dan mengajar di Al-Masthuriyah. Siapapun dan dimanapun memiliki kesempatan untuk memajukan Al-Masthuriyah.

Kenyataannya, 100% anak KH. Masthuro tinggal di Al-Masthuriyah dan hanya sekitar 20% cucu K.H. Masthuro yang tidak tinggal di Al-Masthuriyah. Ini menandakan bahwa wasit itu sangat berpengaruh sekali terhadap keinginan generasi K.H. masthuro untuk memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah.

Dalam memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah ini, tidaklah harus menjadi pemimpin dalam lembaga itu. Perebutan Kekuasaan dalam lingkungan keluarga, apalagi keluarga besar adalah ancaman dan bahaya laten yang selalu menghantui persaudaraan dan keharmonisan. K.H. Masthuro ternyata cukup arif dan berpandangan jauh. Selain berwasiat untuk memajukan pesanten, beliau juga mengimbangi dengan wasiat agar tidak memiliki keinginan yang besar dalam menduduki jabatan pimpinan.

Jabatan bagi K.H. Masthuro suatu amanah. Bila dipercaya, dilaksanakan. Bila tidak dipercaya, jangan memperebutkannya. Hal seperti itulah yang selalu diungkapkan dalam setiap kesempatan pembacaan wasiat.

Bila ada kesepakatan untuk menentukan pilihan pimpinan, maka yang lain harus mau menerimanya, bagaimanapun asalnya. Ini pula salah satu yang dikehendaki dari wasiat yang kedua, Jangan Hasud. Hasud artinya iri terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Hasud terhadap kepemimpinan seseorang bisa berakibat lahirnya usaha-usaha untuk menggulingkan kepemimpinannya.

Untuk menjaga keutuhan keluarga sebagai modal keutuhan lembaga, K.H. Masthuro juga berwasiat agar menutupi keaiban dan kekurangan orang lain, termasuk dan terutama saudara. Dengan tidak mengungkapkan kelemahan dan kejelekan saudanya, berarti tidak ada orang lain yang akan tahu tentang sesuatu komplik yang terjadi dalam lingkungan keluarga.

Apabila ada pihak ketiga yang mengetahui, sudah menjadi sunnatullah, pihak ketiga ini biasanya mengungkapkan kembali ke pihak lain atau ke salah satu pihak yang terlibat dalam komplik, dengan penambahan-penambahan yang didasari dengan niat yang buruk. Akibatnya sudah dapat dibayangkan, komplik semakin meruncing, keutuhan keluarga terancam, dan artinya kelembagaan pesantren dan madrasahpun terancam pula.

Hubungan kekeluargaan sekalipun berada dalam lingkup birokrasi kepemimpinan formal tetap saja harus berdasarkan kasih sayang. Itu yang dikehendaki dari wasiatnya yang keempat. Hubungan saling mengasihi keluarga dan saudara akan melahirkan keharmonisan dan keakraban serta keutuhan keluarga.

Makna wasita yang kelima, harus memiliki keinginan memberi, memberi tekanan agar mampu mengayomi orang lain dalam masalah ekonomi; membantu orang yang tidak mampu. Kenikmatan kekayaan yang dimilki hendaknya tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi semata, tetapi orang lain harus dapat menikmatinya. Apabila memberi ini dilaksanakan, maka hasud dapat dihindari.

Wasiat yang terakhir menghendaki agar keturunan dan pewaris K.H. Masthuro berjalan searah dengan apa yang telah digariskan K.H. Masthuro. Langkah-langkah perjuangan harus mengikuti K.H. Masthuro dalam arahnya. Dalam bidang pendidikan juga harus seirama dengan apa yang dilaksanakan K.H. Masthuro, terutama dalam pengembangan pendidikan Islam.

Apa yang diungkapkan K.H. Masthuro dalam wasiatnya itu, ternayata cukup ampuh dalam menjaga keutuhan keluarga sekaligus menjaga eksistensi pesantren dan madrasah. Apabila ada komplik keluarga atau bahkan bunga-bunganya, anak K.H. Masthuro akan menahan diri dengan selalu mengingat akan wasiat yang diucapkan orangtua tercinta yang harus berbuat baik kepadanya.

KH. MASTHURO SEBAGAI TOKOH DAN HUBUNGANNYA DENGAN MASYARAKAT

Selain sebagai pimpinan dan pengasuh Pesantren dan Madrasah Sirojul Athfal/Banat, K.H. Masthuro juga berperan sebagai tokoh masyarakat. Sebagai tokoh, suara Kyai biasanya lebih didengar daripada suara penguasa (umara). Ini disebabkan bahwa apa yang diungkapkan Kyai dan tokoh keagamaan lain didasari oleh niat yang ikhlas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan suara ‘umara lebih ditafsirkan masyarakat sebagai upaya melestarikan kekuasaannya.

Dengan kenyataan ini, tak jarang umara meminta bantuan ulama untuk menyampaikan sesuatu programnya dengan bahasa dan pendekatan yang biasa digunakan oleh para ulama dan tokoh keagamaan itu. Dengan cara ini, biasanya program itu dapat dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan.

Dalam kesehariannya, K.H. Masthuro selalu menempatkan masyarakat sebagai hal yang harus diperhatikan dan diayomi. Kepada para santrinya, selain diajarkan pendidikan agama, juga diajarkan pendidikan kemasyarakatan. Suatu bukti bahwa K.H. Masthuro memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat. Inilah modal yang memperkuat kedudukan K.H. Masthuro sebagai tokoh masyarakat.

Dalam masalah pendidikan, kepada masyarakat K.H. Masthuro selalu menganjurkan dan bahkan dengan tegas memerintahkan agar memasukkan anaknya ke sekolah atau pesantren. Kesulitan dalam masalah ekonomi dipecahkan K.H. Masthuro dengan membebaskan mereka yang tidak mampu.
Dalam catatan buku stambook murid didapati beberapa masyarakat yang tidak membayar uang sekolah, dan ada pula yang membayar dengan jumlah di bawah yang ditentukan . (Stambook Sekola Agama Desa Tjimahi). Bagi K.H. Masthuro yang terpenting adalah masyarakat dapat menikmati pendidikan. Dengan demikian, kewajibannnya sebagai ulama dalam membina dan mendidik masyarakat sudah dilaksanakannya.

Dalam masalah kesejahteraan masyarakat, K.H. Masthuro juga sangat memperhatikannya. Dalam setiap kesempatan mengambil ikan di kolam (Sunda : ngabedahkeun) miliknya, K.H. Masthuro selalu mengikutkan masyarakat dan membebaskan mereka mengambil ikan yang saat itu sedang dipanen. Bahkan apabila dilihatnya ada masyarakat yang karena kurang lihai, mendapatkan hasil yang sedikit, K.H. Masthuro tak jarang menambahkan pendapatan ikannnya itu. Begitu selalu dilaksanakan dalam setiap panen mengambil ikan.

Orangtua, janda, dan yatim piatu juga sangat diperhatikan K.H. Masthuro. Apabila ada rumah mereka yang rusak diperbaikinya bersama-sama masyarakat yang lainnya. Atau apabila tidak memiliki rumah, K.H. Masthuro mempeloporinya gerakan untik membangun rumah bagi janda, pakir miskin, dan jompo. Gotongroyong pun dilaksakan dengan masyarakat. Peran K.H. Masthuro dalam gerakan ini bukan hanya sebagai penggerak, tetapi langsung menjadi pelaksananya.

Masalah hak pribadi, juga diperhatikan K.H. Masthuro. Pernah K.H. Masthuro mengajak Bapak Mari, seorang preman yang tinggal di Kampung Jamatan Desa Cimahi diajaknya memancing ikan. Dengan diajak memancing, berarti kesempatan Bapak Mari untuk memperoleh penghasilan sehari-harinya menjadi tidak terpenuhi. Bagaimana ia akan memberikan uang belanja kepada istrinya ?

Sebagai orang yang mengerti dan tahu hak, K.H. Masthuro memberikan uang kepada istri Bapak Mari yang diajaknya memancing, dengan berkata : Bi, ini uang untuk belanja. Hari ini, Mamang saya ajak memancing. Bukan hanya itu. Sepulangnya dari memancing, setelah menjamu Bapak Mari makan besar K.H. Masthuro juga membekali Bapak Mari berbagai makanan yang tadi disantapnya untuk diserahkan kepada istrinya.

Dalam masalah pelaksanaan ajaran agama Islam bagi masyarakat, K.H. Masthuro tidak melepaskan tanggungjawab sebagai tokoh agama. K.H. Masthuro selalu mengajak dan menyuruh masyarakat dengan tegas dan bijaksana untuk selalu mengikuti shalat berjamaah dan mengaji yang disediakan khusus untuk mereka. Teguran dan bentakan keras yang berdasar amar maruf nahyi munkar tak jarang terlontar dari mulut K.H. Masthuro. Karena itu, kegiatan shalat berjamaah selalu ramai selain oleh santri juga oleh masyarakat. Masyarakat ke mesjid bukan hanya pada shalat jumat saja, tetapi dalam seluruh shalat maktubah, sampai saat ini.

SIFAT-SIFAT K.H. MASTHURO

Sifat-sifat K.H. Masthuro seperti yang sering dituturkan oleh para saksi sejarahnya adalah :

a. Istiqomah (teguh pendirian)
b. Syajaah (pemberani)
c. Cerdas
d. Sabar dan Qonaah
e. Amat benci kemunkaran dan cinta kebenaran
f. Teliti dan pandai bergaul dengan masyarakat


Sebagai pengemban tugas menegakkan syiar dan dakwah agama Islam, sifat-sifat tersebut mutlak diperlukan oleh K.H. Masthuro. Dan itu sudah diperlihatkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Pada masa kehidupannnya, tuntutan sebenarnya lebih banyak terhadap pemenuhan kebutuhan fisik dan ekonomi. Apalagi bagi K.H. Masthuro yang memiliki banyak anak. Kalau tidak karena keteguhan pendiriannya dalam mengemban tugas itu, ia tentu akan lari ke bidang pertanian misalnya yang dapat menghidupi keluarganya dengan kehidupan yang layak.

Dalam melaksanakan tugasnya, K.H. Masthuro memperlihatkan keberaniiannya. Termasuk dalam perjuangan melawan penjajah Benalnda, K.H. Masthuro melindungi para pejuang dan rakyat Indonesia. Sering penjajah memeriksa pesantrennya, tetapi K.H. Masthuro tidak menyerahkan mereka yang meminta perlindungan itu, sekalipun penjajah menodongkan senjata kepada K.H. Masthuro.

Sebagai pendidik, kecerdasan dan penguasaan materi merupakan ciri yang sulit dipisahkan dari K.H. Masthuro. Pemberian materi pelajaran dalam satu pertemuan belajar mengajar, adalah memberikan apa yang ada padanya. Artinya K.H. Masthuro menguasai betul permasalahannya. Walau begitu, mutalaah merupakan kegiatan yang dilakukannya secara rutin pada malam menjelang istirahat dan pagi seusai shalat dan wirid subuh.

Kesabaran dan ketelitiannya, terutama dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik santri dan keluarga telah teruji. K.H. Masthuro apabila memberikan pelajaran, baru akan memberikan ke materi berikutnya, apabila seluruh anak didiknya sudah menguasai betul apa yang telah diajarkannya itu.

Diajarinya murid-muridnya itu secara individual, satu demi satu, sampai semuanya bisa dan menguasai. Mengajarkan membaca Al-Quran kepada anak-anaknya, juga demikian dilakukannya.

Kesabarannya itulah salah satu motif yang membuat murid angkatan kesatunya betah bertahan sehingga mampu menyelesaikan studi di Sekolah Agama Desa Tjimahi selama enam tahun, sampai selesai dan memperoleh keterangan tanda tamat belajar. Kebencian K.H. Masthuro terhadap kemunkaran dan kecintaannya terhadap kebenarannya dibuktikannya melalui praktek-praktek dakwah yang dilakukannya melalui pergaulan luwes dengan masyarakat. Semua lapisan masyarakat dapat menerima dakwah dan ajakan K.H. Masthuro.

Kemunkaran yang berkembang di kampung-kampung sekitar Tipar, mampu dihapuskannya dan digantikannya dengan kebenaran dan pelaksanaan kehidupan yang sesuai dengan aturan-aturan Islam.

KONSEP PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN KH. MASTHURO

1. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar pendidikan yang dijadikan pijakan oleh K.H. Masthuro adalah marifat kepada Allah Subhanahu Wataala. Karena bagaimanapun banyaknya ilmu yang diperolehnya dan bagaimanapun pandainya seseorang serta bagaimanapun cerdiknya seseorang, tidak akan berguna tanpa dibarengi oleh marifat kepada Allah.

Marifat kepada Allah merupakan modal utama dalam beribadah kepada Allah. Tak akan terjadi ibadah dalam arti yang sebenarnya, ikhlas tanpa dibarengi dengan marifat kepada Allah.
K.H. Masthuro dalam pengawasan kepada para santrinya lebih tertuju pada segi-segi peribadatan. Seperti dalam pelaksanaan shalat, K.H. Masthuro melaksanakan pengawasan yang ektra ketat.

Selain ia terjun lansung secara pribadi mengawasi kegiatan shalat dan hal-hal yang berhubungan dengan shalat (seperti masuk masjid sebelum waktu, berwudlu sebelum waktu, mendahulukan kaki kanan apabila masuk ke masjid). K.H. Masthuro juga mengangkat pengawas pembantu yang diangkat dari santri secara bergiliran secara kelompok yang disebut dengan patrol.

Karena nilai shalat itulah, K.H. Masthuro menyusun buku Manquulat Muhimmah fil Kaifiyah al-Shalat yang berisikan tukilan-tukilan tentang shalat dari berbagai kitab Fiqh. Buku ini selain sebagai bahan rujukan, juga dijadikan mata pelajaran tersendiri seperti Tauhid, Fiqh, Qowaid Arabiyah dan sebagainya. Bahkan alokasi waktu yang diberikan untuk pelajaran shalat ini sama dengan pelajaran-pelajaran yang lain.

Praktek beribadah kepada Allah bisa diwujudkan bukan hanya dalam shalat saja, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang berbuat untuk kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai perwujudan dari ibadah.

Hal tersebut di atas difahami betul K.H. Masthuro. Karena itu, dalam proses pemberian pengetahuan dan keterampilan kepada santri dimaksudkan agar santri memiliki sifat pejuang yang mau membaktikan diri kepada orang lain demi kepentingan orang lain. Berbakti kepada orang lain adalah merupakan bukti bahwa orang itu berguna bagi orang lain. Karena itu, santri hasil binaan K.H. Masthuro banyak bergerak dalam lapangan sosial, terutama sosial keagamaan. Profesi yang umum ditekuni mereka adalah guru ngaji, imam shalat, atau pimpinan madrasah dan organisasi sosial keagamaan.

Dengan demikian tujuan sementara dari pendidikan yang dilaksanakan K.H. Masthuro adalah agar anak bisa melaksanakan kewajiban kepada dirinya sendiri dan melaksanakan kewajiban dirinya sendiri melalui ilmu yang dimilikinya. Sarana untuk memiliki kemampuan melaksanakan kewajiban itu adalah pembinaan santri dalam berbagai aspek kepribadiannya : koginitif (aqliyan), afektif (ruhiyan), dan prikomotorik (badaniyah).

Rumusan tujuan pendidikan yang sering diungkapkan K.H.E. Fakhruddin penerus K.H. Masthuro dan dinyatakan sebagai tujuan pendidikan di Al-Masthuriyah sejak masa K.H. 

Masthuro adalah :

إعداد الطفل بدنيّا وروحيّا وعقليّا ليكون نافعا لنفسه ولغيره

Mempersiapkan (mebina) anak (dalam segi) badannya, ruhnya, dan akalnya supaya menjadi orang yang berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.

(Dari Pidato K.H.E Fakruddin Masthuro dalam rangka kenaikan kelas dan Hari Ulang Tahun Al-Masthuriyah ke-74, Sukabumi, Juni 1994).

2. Methodologi Pendidikan

Methode pendidikan yang dilaksanakan K.H. Masthuro adalah:

a. Keteladanan
b. Pembiasaan
c. Nasihat
d. Pengawasan yang ketat
e. Pujian dan hukuman

3. Shalat Jamaah dan Wirid dalam Pendidikan K.H. Masthuro

K.H. Masthuro memandang shalat berjamaah sebagai sesuatu yang sangat berarti. Dalam shalat berjamaah terkandung fadloil yang sangat besar, 27 kali lebih besar daripada shalat sendiri. Selain itu shalat berjamaah juga memiliki hikmah yang sangat besar dan berarti.
Untuk menegakkan kewajiban shalat berjamaah bagi para santrinya ini, K.H. Masthuro membentuk pembantu yang disebut patrol. Patrol diambil dan beranggotakan santri, secara bergiliran. Tugasnya selain membersihkan komplek dan halaman pesantren juga – dan ini yang paling pokok – mengawasi shalat berjamaah.

Apabila kohkol sudah dibunyikan setengah jam sebelum pelaksanaan shalat berjamaah, semua kegiatan santri harus dihentikan. Bahkan sebelum kohkol itu dipukul banyak santri yang sudah meninggalkan kegiatannya. Hal ini berpengaruh pula kepada mesyarakat yang tengah bekerja di ladang atau di bangunan. Mereka menghentikan kerjanya sebelum shalat fardlu masuk waktu.

Pengawasan santri ketika masuk masjid dilaksanakan patrol yang berdiri di depan masjid. Diawasi santri satu demi satu. Apabila ada santri yang melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu, maka ia akan ditegur patrol dan disuruhnya kembali.

Pada saat patrol melaksanakan tugasnya, K.H. Masthuro berdiri jauh dari asrama, mengawasi santri dari kejauhan. Bila waktu sudah mendekati pelaksanaan shalat berjamaah, maka K.H. Masthuro akan mendekati asrama. Pada saat inilah para santri masing-masing sibuk menyiapkan diri pergi ke masjid.

Karena kewibawaan K.H. Masthuro seringkali santri berbuat kesalahan ketika pergi ke masjid. Misalnya salah mengenakan baju, seharusnya memakai baju yang rapi, ia hanya memakai kaos dalam saja. Atau memakai baju yang terbalik; bagian dalam di luar dan bagian luar di dalam.

Selain itu, dengan mewajibkan shalat berjamaah bagi santri, K.H. Masthuro secara langsung mendidik santri dalam berbagai hal, diantaranya :

1. Kedisiplinan. Kedisiplinan ini dapat terlihat pada ketepatan masuk ke masjid, cara masuk ke masjid dan meninggalkan semua kegiatan ketika waktu pelaksanaan shalat sudah masuk.

2. Kepemimpinan. Ini terlihat dengan pemberian tugas kepada patrol untuk mengatur santri dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

3. Tanggung jawab. Patrol yang diberi tugas pengawasan dituntut untuk bekerja dan melaksanakan tugasnya. Bila tugas ini diabaiikan, akibatnya selain santri akan terkena sangsi, mereka juga sebagai patrol akan mendapatkannya.

4. Pembinaan sikap yang lain yang terkandung dalam hikmah shalat berjamaah seperti persatuan dan kesatuan, kebersamaan, persaudaraan, kepemimpinan, dan sebagainya.
K.H. Masthuro menempatkan zikir dan doa sebagai bagian dari pelaksanaan pendidikannya. 

Diantara aurad yang biasa dan diharuskan K.H. Masthuro kepada santrinya adalah sebagai berikut :

1. Aurad bada shalat fardlu yang meliputi aurad yang datang dari Nabi dan yang datang dari shalaihin. Aurad ini dibacakan secara keras supaya didengar dan diikuti murid-muridnya. Dibacakan selepas shalat fardlu.

2. Pembacaan ayat khams (ayat lima) setiap selesai shalat ashar.

3. Zikir la ilaha illa Allah setiap bada shalat Maghrib (100 kali), bada shalat Shubuh (1000 kali) dan bada shalat Ashar La ilaha illa Allah Muhammadun al-Rasusullah (3 kali), la ilaha illa Allah (5 kali), Allah (25 kali) disambung dengan La ilaha illa Allah Muhammadun al-Rasusullah (3 kali).

4. Pembacaan Ratib al-Haddad setiap malam Minggu, selepas wirid, zikir dan badiyah maghrib sampai menjelang shalat isya.

Melalui aurad ini K.H. Masthuro ingin menanamkan sikap terpuji (Akhlak-karimah) dan kepribadian yang baik kepada santrinya, diantaranya adalah :

1. Tawakkal kepada Allah
2. Mengurangi ketergantungan kepada manusia dan kepada selain Allah
3. Rasa percaya diri
4. Keimanan yang kuat
5. Kesehatan jiwa dan badan dengan ketenangan hati.
6. Meyakini kekuasaan Allah dan kelemahan manusia.

Zikir yang dibacakan K.H. Masthuro bersama santrinya adalah zikir jahar (keras). Saking kerasnyasuara zikir itu sampai terdengar oleh orang yang berada jauh di luar masjid. Zikir keras ini dimaksudkan agar dapat diikuti oleh para santri dan jamaah lainnya.

Pelaksanaan zikir inipun tetap diawasi dengan ketat oleh K.H. Masthuro. Dalam berzikir shubuh, misalnya, K.H. Masthuro melarang keras santrinya untuk mengantuk apalagi tidur. Zikir harus dilaksanakan dengan khusyu, tidak boleh main-main. Dalam pengawasan ini, seringkali K.H. Masthuro menegur jamaah yang berzikir dalam keadaan mengantuk.

Penyusun:

H. Abubakar Sidik, M.Ag.
Jamaludin Ibrahim, S.Ag.
Jalaludin, M.Ag.

Editor: AM

Post a Comment

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

Previous Post Next Post